![]() |
Foto: La Yusrie I 2018 |
Ketika sekolahnya ia selesaikan di Makassar, pulang ia ke kampung halamannya di Kapontori, bermaksud sukarela mengabdi untuk mencerahkan penduduk kampung, mencurahkan segala-gala ilmu dan pengetahuan yang didapatkannya selama duduk di bangku pendidikan.
Bermaksud ia memutus feodalisme yang cakar kukunya masih kuat menancap, memupus kebodohan yang mengekang, maka hal paling mula dilakukannya adalah menginisiasi dan membuka sekolah gratis bagi rakyat,
di sana, di sekolah rakyat bentukannya yang gratis itu, siapapun anak kapontori boleh masuk tanpa perlu melalui seleksi. Semua tugas diambilnya sendiri, diemban sebagai disebutnya sepenuhnya pengabdian. Ia menjadi guru, sekaligus juga kepala sekolahnya, bahkan tak jarang iapun menyambi sebagai penyapu kebersihan.
Tapi angin Marxisme bertiup kencang kala itu, dan dia ikut juga terkenai pengaruhnya, membawanya masuk komunis, dengan sepenuh kesadarannya ia memilih ideologi yang disebutnya memanusiakan manusia itu.
Menurutnya justru dalam komunis ia menemukan Tuhan. Ia melihat tangan Tuhan pada tangan borjuisi yang menjulur menolong kaum marhaen yang proletar dan papa, pada pandangan yang tanpa kelas, semua yang disebut manusia sama rata sama rasa, tiada sekat yang membeda-bedakan, bukankah memang begitulah sebenarnya ajaran Tuhan?
Karena terdidik dan cerdik, maka dengan cepat ia menaiki kursi pimpinan, menjadilah ia kepala CSS (Cekretary Sub Seksi) PKI Kecamatan Kapontori, awal dimana sebenarnya petaka mulai dihampar dibentangkannya sendiri.
Ia ditangkap dengan disekap di Kapontori, ditahan dan disiksa selama lima tahun di penjara Baubau, dipindah ke kamp Ameroro Lambuya Kendari untuk menjalani kerja paksa tanpa diupah, dan lalu bersama kawanannya diasingkan tinggal di hutan Nanga-Nanga dalam status abadi sebagai tahanan politik.
***
KUDETA Partai Komunis Indonesia (PKI) telah gagal di Jakarta, pembersihan seluruh anasirnya dengan cepat segera dilakukan, atas nama negara, gelumbang penindasan manusia oleh manusia dimulailah, arusnya seperti bah menyapu segala apapun yang sekaitan dengan partai yang mengambil ideologi Marxisme itu sebagai dasar organisasinya.
Partai Komunis Indonesia
(PKI) dalam sekejap bersalinlah rupa, dari awalnya orang-orang membusung dadanya
karena bangga disebut sebagai bagian dan anggotanya kini menjadi momok
menakutkan yang lari dihindari dan tak diingini semua orang.
Gerakan cepat dan senyap
pasukan Cakrabirawa yang dipimpin Kolonel Untung rupanya tak membawa untung,
justru buntunglah saja yang malah akhirnya dicapai mereka. Gerakan kup tengah
malam itu telah dengan cepat dapat dipatahkan ketika fajar baru mulai naik
menyingsing pada 1 Oktober 1965.
Bara api pemberontakan
dengan cepat dapat dipadamkan langsung ke “jantungnya” sebagaimana waktu kasip
kemunculannya yang singkat, hanya tujuh jam degup bernafasnya.
Sekalipun gerakan itu singkat dan gagal, mereka berhasil membunuh paling tidak tujuh jenderal dalam hanya tujuh jam operasi, artinya para komprador lapangannya hanya memerlukan satu jam untuk membunuh satu jenderal, sesuatu yang itu luarbiasa.
Sekalipun gerakan itu singkat dan gagal, mereka berhasil membunuh paling tidak tujuh jenderal dalam hanya tujuh jam operasi, artinya para komprador lapangannya hanya memerlukan satu jam untuk membunuh satu jenderal, sesuatu yang itu luarbiasa.
Kudeta gagal sebagai biang
penyebab dari kisruh dan kekacauan politik tahun 1965 tak hanya kemudian
menjadikan Partai Komunis Indonesia (PKI) terlarang dan dibubarkan, seluruh
anggota dan simpatisan nya yang tak menahupun ditangkapi lalu ditahan sebagai
TAPOL dan bahkan dengan sadis dibunuhi.
Data dari para korban
komunis yang trauma menyebut ada 2 juta orang tumbal yang mati mengenaskan
sebagai korban dibunuh selama setahun huruhara kekacauan 1965—1966.
Benedict Andersen (1966) memperkirakan 200.000 orang telah terbunuh dalam selama huruhara, tahun 1986 jumlah itu kembali direvisinya menjadi 500.000 – 1 juta jiwa orang yang dilayangkan nyawanya dengan dibantai.
Benedict Andersen (1966) memperkirakan 200.000 orang telah terbunuh dalam selama huruhara, tahun 1986 jumlah itu kembali direvisinya menjadi 500.000 – 1 juta jiwa orang yang dilayangkan nyawanya dengan dibantai.
Soekarno yang sipil jatuh, ia
tampaknya terkenai juga bah dari musibah
kup naas itu. Naiklah kemudian Soeharto, seorang jenderal nyentrik yang
pendiam dan murah melempar senyum, penganut kejawen yang kuat, dan konon sebenarnya
dialah dalang di balik kudeta itu (lihat, Roosa: 2008). Negara dalam genggam kuasanya
waktu itu kemudian menetapkan partai yang berlambang palu arit itu sebagai
partai terlarang selamanya di bumi Indonesia.
Partai pimpinan Aidit yang
seporos dengan Mao Ze Dong di China dan Lenin di Soviet itu dalam seketika
kehilangan banyak pendukung. Sekalipun prinsip “kesalahan kolektif” telah
ditolak oleh banyak negara di dunia dalam apa yang dinamai Rule of Law, tetap saja para pimpinan PKI yang jauh di pelosok
tanah air ikut terkenai getah dari kudeta gagal itu.
Mereka seperti hanya
merasai pelik pulutnya getah dari buah nangka yang daging bijinya dimakan oleh
orang lain. Tak menahu urusan di Jakarta, para tertangkap itu tanpa ampun disekap
lalu diseret sebagai tersangka dalam apa yang kemudian oleh tentara dan
penguasa mereka dilabeli sebagai TAPOL alias Tahanan Politik.
Menurut penguasa militer
yang disokong dukungan militan sipil agamis—vigilante (mereka yang menegakan hukum
dengan caranya sendiri/main hukum sendiri) , selain bersalah karena pengabaian,
mereka bersalah karena keterkaitan; sebagai anggota/pengurus partai mereka
bertanggungjawab atas segala keputusan yang diambil oleh para pimpinannya di
pusat. Dalam pandangan penguasa saat itu, keputusan pimpinan otomatis mengikat
seluruh anggotanya.
Apa yang dilakukan Orde
Baru itu jauh berlainan dari yang dilakukan oleh Soekarno di masa orde lama.
Para pejuang nasionalis dalam tahun 1945—1949 tidak membunuh orang-orang
Belanda hanya Karena mereka orang Belanda. Sebelum tahun 1965, pemerintah
Indonesia tidak pernah menimpakan kesalahan kepada suatu kelompok masyarakat
secara keseluruhan. Soekarno mengampuni pemberontak-pemberontak Darul Islam
(DI)—Orang-orang yang memang mengangkat senjata untuk melawan pemerintah,
kecuali pimpinan-pimpinan puncaknya.
Setelah pemberontakan
PRRI/Permesta berhasil digagalkan dalam akhir tahun 1950-an, pemerintahan
Soekarno segera melarang PSI (Partai Syarikat Islam) dan Masjumi karena para
pemimpin kedua partai itu mendukung pemberontakan. Tidak ada penangkapan kepada
para anggota kedua partai itu kecuali hanyalah para elit pimpinannya yang
bertanggungjawab secara langsung pada gerakan makar yang juga gagal itu (Lihat
Roosa: 29. 2008)
***
Peristiwa 1965 telah
membikin trauma mendalam, slogan sama rata sama rasa menguap serupa asap yang
ditelan udara, tak lagi ada yang mau mendengungkan, segala-gala terkait komunis
menjadi momok seronok yang menakutkan. Ketika tengah Oktober 1965 gelumbang
penangkapan disertai pengganyangan segala hal yang terkait dengan Partai
Komunis Indonesia (PKI) berlangsung dengan cepat, masif dan telah mencapai
ujung timur pulau Jawa dan Bali, pulau Buton nan mungil di tenggara Sulawesi
hanya tinggal menghitung hari dikenai pula bah arus gelumbangnya.
Dan memang betul, arus bah
musibah pemberangusan itu telah mencapai Kapontori—Sebuah desa kecil di pesisir
barat pulau Buton pada awal November 1965. Dua puluh orang lebih ditangkapi di
sana, digiring dengan kasar bak kriminil dan lalu ditahan tanpa sekalipun
pernah melalui sidang pengadilan.
Mengapa Buton harus ikut
pula terkenai getah dari kudeta yang gagal di Jakarta? Perlu diketahui bahwa yang
menduduki tampuk pimpinan tingkat provinsi Partai Komunis Indonesia (PKI) di
Sulawesi Tenggara waktu itu adalah hampir seluruhnya orang-orang Buton.
Generasi Buton dalam masa itu adalah kelompok paling mula dan cemerlang dalam
urusan mengelola organisasi politik dan melakukan agitasi sebab memang banyak
dari mereka yang terdidik dan sekolahan, itulah pada akhirnya merekapun dibidik
sebagai kelompok disalahkan yang “harus diberangus”.
Buton pun tampaknya dilihat
sebagai kelompok lawan yang berdiri diametral saling berhadap-hadapan dengan
para kelompok elit dari “Selatan”. Selain karena dendam pada sejarah masa lalu
yang belum mencapai selesai, hal lain yang paling mungkin memantik kekisruhan
itu adalah peristiwa di Lantawe, Kolaka Utara yang mengambil korban banyak “gerombolan
Selatan” tewas/dibunuh yang konon para pelakunya adalah orang-orang Buton.
Hal lainnya adalah, bahkan
seorang Dipo Nusantara Aidit Ketua CC (Commite Center) PKI terpilih sebagai
anggota di parlemen sebagai wakil dari daerah pemilihan Sulawesi Tenggara, ini
memperlihatkan bagaimana kuatnya PKI di sana dan dekatnya hubungan pengurus
pusat CC PKI dengan para pengurus di daerah Sulawesi Tenggara.
***
NAMANYA La Mbatu, ia
berwatak keras serupa batu, berkarakter kuat, tak mudah goyah dalam memegang
prinsip. Ketika ia diseret ke tahanan dalam tahun 1965 karena disebut terlibat
G30S- PKI, segala rasa siksa fisik dan psikis telah dialaminya, tapi itu bisa
ditahan dan dilaluinya.
Sampai sebuah kabar buruk
datang didengarnya. Pagi-pagi sekali, seorang kerabatnya datang tergopoh
mengunjunginya di sel tempatnya ditahan membawakan kabar buruk itu, istrinya
telah selalu “dimainkan” oleh seorang pimpinan dari pasukan tentara yang
menangkapnya.
Kabar buruk itu serupa
belati yang menusuknya tepat menghujam di jantungnya, sakitnya tandas sampai ke
ulu hati. Tiba-tiba kakinya gemetar tak kuat menopang badannya yang bergetar
oleh tangis sesenggukkan yang ditahannya, tangannya lunglai, jemarinya lemas diserang
dingin, lalu seketika ia rubuh ke lantai seperti nangka masak jatuh dari
pohonnya, hilang kesadarannya.
Begitu ia siuman dari
pingsannya, ia kumpulkan kekuatannya, tak takut ia pada lototan mata kepala
sipirnya dan berteriak selantangnya tepat di muka hadapan si sipir yang galak
itu: “Siksa saja dan bahkan bunuhlah saya sekalian, jangan istri saya dirusaki!”
Tak kuat menanggung malu
dan derita telah “dirusaki” itu, istri terkasihnya itu memilih pulang kepada
Tuhan sang pencipta. Ia meninggal dunia dalam tahun 1967, dua tahun sejak
suaminya ditangkap dan tak lagi pernah dipulangkan. Kabar duka itu segera
dengan cepat melayang sampai ke sel tahanan penjara Baubau tempat suaminya “dibina”
sekaligus terus dihina dan mengalami penyiksaan.
Sejak kematian istri terkasihnya
itu, tak lagi ada yang ditakutinya, segala-gala enteng dalam pandangnya, ia
bahkan mengharapkan kematian segera datang agar kembali bisa bertemu istri,
perempuan kasihnya yang tak sempat memberinya keturunan itu. Hal lainnya yang
menyebabkannya berpikir pendek begitu, hidup sehina begini ini, matilah saja
lebih baik.
***
DIA kuliah di Universitas
Veteran Republik Indonesia (UVRI) Ujung Pandang tetapi mengambil kerja sambilan
sebagai penjaga buku-buku di Perpustakaan Negara Ujung Pandang dalam tahun
1950-an. Dari tugasnya sebagai penjaga di “rumah buku” itulah ia mengenali banyak
pemikir kiri. Berderetlah di sana dalam benak ingatannya nama-nama besar seperti
Karl Marx, Lenin, Hegel, Tolstoy, Engels, Nietzsche, dan banyak lagi lainnya. Ia mulai menggumuli dan
melahap buku-buku karya para pemikir kiri itu, saban hari selalulah kegiatannya
hanya membaca buku belaka, buku para “kiri” itu.
Maka wawasannya segera luas
terbuka, cakrawala berpikirnya membentang jauh dari Moscow tempat Lenin
bermakam hingga London di mana pusara Marx terbaring di sana. Ia hafal betul
bagaimana gerakan revolusioner dibangkitkan, baginya tiada apapun bisa dicapai kecuali
setelah semua manusia tiada berkelas, sama rata sama rasa.
Setiap kali ia usai membaca
buku-buku yang disebutnya “bergizi” itu, darahnya seketika tersirap naik mendidih,
tersuruplah ia ke dalam pengaruh buku-buku berpaham “kiri” itu. Melintas di
benak kepalanya setiap kali ia usai membaca buku-buku itu bagaimana feodalisme
masih begitu kuat di kampungnya, hal-hal ideal dalam pandangan Marx diambilnya
sebagai patron mengukurnya, dengan itu ia menilai segala-gala di kampungnya begitu
mundur jauh dalam pandangannya.
Ia merasai bagaimana kelas
setiap orang masih dibedakan sesuai derajat tinggi kebangsawanannya, feodalisme
masih begitu kuat di sana. Maka ia meninggalkan pekerjaannya “menjaga buku” di
perpustakaan Negara Ujung Pandang dan memilih pulang mengabdikan diri ke kampung
halamannya
mula-mula ia mengabdikan
diri sebagai guru di sekolah menengah (kini sekolah itu menjadi SMPN 1
Kapontori). Dahulu anak-anak di Kapontori hanya bersekolah sampai tamat sekolah
dasar, untuk melanjutkan ke sekolah menengah pertama mereka harus ke Baubau. Itu
dirasai terlalu jauh sehingga banyak dari mereka memilih tidak meneruskan
bersekolah. Sejak Lambatu dan kawan-kawannya membuka sekolah menengah pertama
dan ia menjadi relawan guru “tanpa gaji” di sana, anak-anak mulai ramai
bersekolah dan ia sendiri mendapatkan kehormatan dengan kerja tanpa pamrinya
itu.
Ia pun dengan sukarela
menyerukan dan menggalakan kampanye agar masyarakat “mengangkat arit” untuk
memulai bersawah. Dialah bersama kawanannya yang terus melakukan “edukasi” agar
dibuka lahan persawahan di Kapontori. Karena pergerakannya yang lihai dan aktif
itu diam-diam ia mendapat perhatian dari pengurus daerah partai Komunis Indonesia
Buton di Baubau, dan tanpa menunggu lama, ia telah dipilih/ditunjuk sebagai ketua
Comitee Sub Seksi (semacam Ketua Kecamatan) CSS Partai Komunis Indonesia (PKI) di
Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton.
Sejak itu ia aktif melakukan
agitasi dan membangun perkawanan dengan banyak orang, bermaksud hendak melakukan pencerahan dan
perbaikan bahwa setiap orang adalah sama rata sama rasa dalam segala apapun,
tiada kelas-kelas apalagi gap yang memisah dalam sekat-sekat sempit yang
menyesakkan.
Alih-alih maksud mulianya
itu mendapatkan manfaat dan menemukan tujuan akhir yang baik, malah celakalah
akhirnya yang didapatkannya. Tak disangkanya justru misi membaikannya itulah
yang dengan cepat membawanya ke penjara dan kemudian mengurungnya dalam kerangkeng
jeruji di bawah todong moncong senapan, poporan bokong senjata, siksa fisik dan
teror psikis yang tiada berhenti dialaminya.
Hukuman terungku itu tidak
hanya memberaikannya dari keluarganya tetapi juga dari kehidupannya sebagai
manusia “merdeka” bahkan hingga kini, dalam seluruh sisa kehidupannya ia
tetaplah tinggal sebatangkara di rumah berlantai tanah yang kini doyong nyaris
rubuh di kompleks eks Tapol PKI Nanga-Nanga kota Kendari Sulawesi Tenggara dalam
cap status abadinya sebagai eks Tapol alias Tahanan Politik kasus PKI 1965.
Dilabeli sebagai eks Tapol adalah
sebenarnya dikibuli, itulah tiada pernah berhenti ia melakukan protes sebagai
perlawanan, sekalipun dengan cara hanya berdiam diri belaka, bukankah melawan
tidak melulu hanya dengan melalui kekerasan? Melawan dengan diam adalah justru
senjata paling tajam yang terbukti ampuh dapat mengalahkan penguasa paling
kejam sekalipun. Mereka bisa memenjarakan raga badan saya tetapi tidak dengan
rasa dan pikiran-pikiran saya.
***
TEPAT tengah malam, tanggal
10 November 1965, di hari pahlawan, sekelompok tentara mendatangi rumahnya, istrinya yang ketakutan berdiri
gemetar di muka pintu, bermaksud menghalangi para penangkap itu memasuki
rumahnya, tapi tangan para penangkap itu terlalu banyak, terlalu kuat datang
merubung tepat di mukanya menyuruhnya minggir.
Tak menyerah, istrinya terus
coba menghadang sekalipun sesekali terkenai tendangan, dorongan atau menerima
ditudingi telunjuk disertai bentakan menghardik untuk ia menjauh, tapi terus ia
memohon dengan memelas minta dikasihi agar suaminya tak perlu dibawa pergi, tetapi
ia tidak dikasihi, para penangkap itu rupanya memang tak berbelas mengasihi, tetap
saja suaminya diringkus dan bahkan diperlakukan seperti kriminil, ia diseret
dengan kasar, dibawa malam itu juga ke tahanan di penjara Baubau, ia telah
ditahan tanpa pernah sekalipun melalui sidang pengadilan.
Sejak itu, buyarlah segala-gala
impian yang lama dirajutnya, cita-cita idaman sebagai keyakinan ideologisnya
bahwa apapun namanya, penindasan manusia atas manusia lainnya adalah seburuk-buruk
tabiat manusia. Kini adagium yang dilahapnya dari membaca karya Marx itu justru
jatuh menimpa dan dirasainya sendiri. Ia ditindas sampai tandas, tanpa ia kuasa
melawan, bahkan sekadar hanya untuk memelaspun ia dibalas bentakan, tapi ia
bertahan dalam melawan diam-diam, baginya itulah kemenangannya.
Dalam sesi wawancara
dengannya, ia mengisahkan masa kelam selama menjalani tahanan penjara di
Baubau. Segala siksa telah dialaminya di sana, dari yang paling sakit sampai
yang paling kejam, dari siksa fisik sampai pun di siksa psikis. Seorang kawan
seselnya rontok berguliran ke lantai semua gigi atas—bawahnya dihantam popor
bokong senapan karena disebut telah berbohong dalam interogasi, bahkan tak puas
hanya sampai di situ, kuku-kuku kaki tangan nya pun dicabuti memakai tang setelah
sebelumnya ditubruki memakai kaki meja
Berkata: ”selama lima tahun
di Penjara Baubau (1965—1970) aku merasai sepahit-pahitnya derita, ketika dalam
tahanan itulah kerabat saya datang membawakan kabar buruk bahwa selalu istri
saya “dimainkan” oleh seseorang berpangkat yang memenjarakan saya. Di situ
kurasai seperti langit runtuh, aku lunglai lalu gontai ke lantai sel yang basah
oleh air yang dipakai menyirami kami, aku meriut seperti keong, duduk memangku
lutut di pojokan dengan gemetar sembari membayangkan wajah istri saya yang gemetar
ketakutan, dengan suara yang tersisa, sekuatnya aku menarik napas dan dengan
lantang berteriak dalam racau: “Mengapakah Tuhan menimpakan sebegini pahitnya
derita kepada saya?”
Siksa fisik dalam penjara
telah seperti makanan hari-hari, lama kelamaan tidak lagi menjadi momok. Karena
telah terbiasa disiksa fisik, menjadikan kami bisa melalui hari selama lima
tahun lamanya di sana, dengan itu saya jadi percaya bahwa derita sepahit apapun
yang telah biasa dialami dapat menjadikan bisa dilalui dengan tiada lagi rasa
takut. Rasanya telah hilang rasa takut itu.
Diakhir wawancara aku
menanyainya, ketika kawan-kawan sesama tapol telah pergi meninggalkan kompleks
eks tapol Nanga-Nanga yang masih dirimbuni pohonan dan berwajah serupa rimba
itu, mengapakah ia masih saja terus betah tinggal sendirian di sana dalam gubuk reot berlantai
tanah yang telah doyong dan nyaris rubuh itu? Aku melihat senyumnya lepas
disunggingkan, dan pada wajahnya ada kedamaian. Berkata: “Aku menyukai
kesunyian sebab dalam padanya ada kehidupan”.
0 komentar:
Post a Comment